Pernah anda dengar istilah baru – baru ini soal Guru Badut ? Iya guru badut istilah baru di dunia pendidikan. Munculnya istilah ini akibat dari warisan menteri pendidikan era Nadiem Makarim si pebisnis digital yang kita kenal Gojek, yakni aplikasi pesan gojek secara online, Rabu (1/1/2025)
Sering kita temukan para guru bahkan tak ketinggalan muridnya berjoget didepan kamera dalam ruang kelas, ruang guru bahkan meminta sesama rekan guru untuk membantunya mensukseskan video rekaman aksinya tak luput pula setelah itu video di share atau dibagikan dengan hastag #merdekabelajar.
Sering kali kegiatan itu tidak ada hubungannya dengan praktik mengajar kepada murid sesungguhnya bahkan ada cara lain namun ini sebuah penjajah digital tuntutan sebuah aplikasi buatan Nadiem makarim mantan menteri pendidikan saat itu. Dengan demikian muncullah istilah baru yakni Guru Badut yang menjadi fenomenal dikala nasional.
Berjoget atau menari yang dishare di kanal sosial media seperti Instagram,tiktok dan lain- lain pada era kurikulum merdeka belajar dimaksudkan bahwa belajar itu menyenangkan sehingga menghibur murid itu sendiri.
Secara teknis penulis menyebutkan ini bukan praktik belajar dan mengajar antara guru dan murid. Ini sebuah tontonan kepada publik secara luas dengan tujuan memamerkan pembelajaran mereka.
Namun apakah video yang diunggah ke sosmed itu sebagai aksi nyata mempresentasikan sebuah praktik belajar yang sesungguhnya sesuai dengan kenyataan?
Mungkin pembaca pernah menyaksikan bagaimana seorang produser sebuah film membuat filmnya dengan berkali-kali take action hingga menjadi sebuah film yang benar-benar baik ?
Dalam pembuatan konten pembelajaran yang dikaitkan dengan merdeka belajar ada unsur perencanaan perekaman, editing konten, yang membutuhkan kapasitas kompetensi tertentu serta fasilitas memadai.
Semakin rendah daya dukung fasilitas sekolah dan sumber daya pribadi seperti, kapasitas gawai, laptop dan aplikasi penunjang maka semakin sulit guru memproduksi konten aksi nyata dengan baik.
Melihat fenomena ini banyak para guru di Indonesia bermutasi menjadi guru konten kreator ketimbang menjadi guru yang sesungguhnya. Tidak bisa dipungkiri bahwa aksi tersebut tentu tidak bisa dikerjakan dalam waktu yang bersamaan, akan ada guru yang sibuk merekam dan dipastikan guru akan sering meninggalkan kewajibannya sebagai seorang guru yang sesungguhnya.
Bahkan ketika ada aksi nyata yang akan diambil rekamannya, ruang kelas berubah bak lokasi syuting atau dapur rekaman sebuah perfilman. Antara guru dan murid berubah menjadi artis dadakan semua tindakan diatur bak drama korea diatur sedemikian rupa agar pengambilan video nampak baik.
Lantas jika guru dan murid berpura-pura, video pembelajaran yang direkam untuk siapa dan tujuannya untuk apa ? Tentu jawabannya adalah tuntutan sebuah aplikasi. (Ars)
